Kamis, 04 November 2010

Pejuang Bangsa,,,Tetaplah ada.

Surabaya merupakan ibu kota propinsi Jawa Timur, pada tanggal 10 November 1945, seluruh bangsa Indonesia memperingati hari pahlawan nasional yang besamaan surabaya diduduki tentara sekutu, yang kemudian ditimbang terimakan kepada serdadu belanda. Periswa ini berhubungan erat dengan serangkaian peristiwa heroik di kota Surabaya enam puluh dua tahun yang silam. namun akhibat perundingan antara pemerintah yang diwakili sutan sjahrir, dilanjutkan oleh amir syarifudin melalui linggajati dan reville, rakyat dan pasukan bersenjata terpaksa membiarkan adanya belanda di Surabaya.

Selama masa diplomasi perang gerilya, perlawanan pemuda dan rakyat Surabaya terhadap para aggressor – Netherlands India Civil Administration (NICA) Belanda beserta Bala Tentara Sekutu, yang didominasi oleh Tentara Kerajaan Inggris–enam puluh dua tahun silam telah menorehkan tinta emas di dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Masyarakat mengalami perkembangan yang bertempat tinggal dalam kota surabaya yang terus menerus berjumpa dengan kolonial belanda, sikap masyakat kemudian tercermin dalam tindakan kongkrit dengan menggerogoti aparat belanda yang bekerja dikantor dan melakukan sabotase dalam instalasi militer, bahkan melakukan penyergapan terhadap serdadu yang dalam lengah.


Setelah wakil tinggi mahkota belanda di Jakarta, mengumumkan bahwa pihak belanda tidak lagi terikat pada perjanjian Reville, yang telah melanggar gencatan senjata. Maka perlawanan rakyat melawan kolonial belanda dengan sekutunya dirapatkan menggelarkan aksinya yang dahsyat. Pertempuran dahsyat pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya, antara rakyat Surabaya ( Arek-arek Surabaya) versus NICA-Belanda yang dibantu Tentara Sekutu. Peristiwa tersebut diawali dengan kedatangan Ribuan Tentara Sekutu beserta NICA-Belanda – di bawah pimpinan Brigadir Jendral Mallaby – pada tanggal 25 September 1945 dengan maksud awal kedatangannya ‘hanya’ untuk melucuti bala Tentara Jepang.

Pada kenyataannya kedatangan Tentara Sekutu dan NICA-Belanda menyimpan agenda terselubung, yakni ingin menancapkan kembali kekuasaan Kolonialisme dan Imperialisme atas Indonesia, pada hal sudah memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada saat itu. Namun Tiga hari setelah pendaratan Tentara Sekutu dan NICA-Belanda di Kota Surabaya, mulai terjadi kontak senjata dengan para pemuda dan pejuang Surabaya. Para pemuda terutama bekas pemegang senjata yang tersisa di sekitarnya, di Batam, Semampir, disekitar kota Surabaya, segerah membongkar kembali yang dulu mereka kubur. Kemudian gerakan rakyat gerilya merapatkan barisan dengan persiapan sejatanya dan menyusun strategi melawan kolonial belanda.

Front pertempuran rakyat Surabaya tersebut, para pemuda pejuangnya menunjukkan superioritasnya terhadap Tentara Sekutu dan NICA-Belanda sampai dapat diketahui bayangan akan kehacurannya. Maka Panglima Tentara Sekutu Jenderal Sir Philips Christison mengajukan usulan kepada Presiden Soekarno untuk menghentikan tembak-menembak di kota Surabaya, akan menjadi pertimbangan berat sisi diplomasi ke depan dilakukan. Usulan Jenderal Christison cukup di setujui oleh Pemerintah RI pada waktu itu. Kemudian terjadilah insiden yang tak terduga yaitu, terjadinya huru-hara di sekitar Gedung Internatio, Jembatan Merah, yang diakhiri dengan peristiwa pelemparan granat tangan ke arah iring-iringan kendaraan Jenderal Mallaby yang tengah malakukan sosialisasi gencatan senjata. Peristiwa tewasnya Jenderal Mallaby menyulut kemarahan bala Tentara Sekutu, pada tanggal 31 Oktober Jenderal Christison, selaku panglima Tentara Sekutu di Indonesia, mengajukan tuntutan kepada Pemerintah RI untuk menyerahkan pelaku pembunuhan Jenderal Mallaby.

Pemerintah RI tidak memenuhi tuntutannya, sampai bala Tentara Sekutu melalui panglimanya di Jawa Timur, Jenderal E.C. Mansergh, mengeluarkan ‘ultimatum maut’ kepada segenap rakyat Surabaya pada tanggal 9 November 1945. Inti dari ultimatum Jenderal Mansergh adalah, rakyat Surabaya beserta para pejuangnya agar meletakkan senjata dan menyerahkan diri kepada bala Tentara Sekutu sebelum jam 18.00 (waktu Surabaya) pada hari dikeluarkannya ultimatum tersebut.

Seluruh bangsa di dunia mengetahui kedigdayaan bala Tentara Sekutu pada waktu ultimatum dikeluarkan–dimana front Eropa mampu menggilas habis kekuatan Nazi Jerman yang terkenal tangguh itu, di medan laga Asia-Pasifik bala Tentara Sekutu mampu menggulung Tentara Nipon. Para pemimpin perlawanan rakyat di Surabaya, melalui Gubernur Suryo, meminta pertimbangan pada pemerintah pusat di Jakarta berkenaan dengan ultimatum Sekutu, ternyata para pemimpin di Jakarta seia-sekata dengan para pejuang di Surabaya untuk menolak ultimatum.

Pada tengah malam tanggal 9 November 1945, dengan gagah berani Gubernur Suryo menyerukan melalui radio yang menyatakan “ Rakyat Surabaya menolak ultimatum Sekutu, lebih baik hancur binasa daripada dijajah kembali dan menyerukan rakyat Surabaya bersiap untuk menyongsong perang keesokan harinya.” Tak pelak lagi tepat tanggal 10 November 1945 meletuslah pertempuran terdahsyat sepanjang sejarah perjuangan bersenjata Republik Indonesia, dalam rangka mengenyahkan kaum penjajah dari bumi pertiwi.

Kota Surabaya terjadi perang bombardir Tentara Sekutu dari segala penjuru, baik melalui darat, laut maupun udara. Tentara Sekutu dengan kekuatan kurang lebih 1 Divisi (10.000-15.000 personil) dengan perlengkapan senjata canggi, menyerang rakyat pejuang Surabaya yang hanya bermodalkan semangat bela negara dan bersenjata ala kadarnya. Pada saat itu muncul salah seorang pemimpin pejuang yang sangat fenomenal : Bung Tomo, yang terkenal dengan orasinya yang berapi-api dalam menyemangati para pejuang untuk tidak mundur setapak pun dari medan pertempurannya sampai banyak kalangan media massa luar negeri menyebutkan sebagai Pertempuran Terdahsyat pasca Perang Dunia ke-2.
Ribuan jiwa korban melayang pada pertempuran waktu itu, baik dikalangan rakyat biasa, para pejuang RI maupun di pihak tentara Sekutu sendiri. Pertempuran baru berakhir kurang lebih satu bulan kemudian. Untuk mengenang partriotisme rakyat Surabaya yang gagah berani tersebut, maka tanggal 10 November di abadikan sebagai Hari Pahlawan bagi Bangsa Indonesia.


Oleh Karena itu, kita sebagai anak pelajar SMANSA GIBES. harus menghargai perjuangan mereka, bukannya berkelahi, ataupun bermalas-malasan karena kemerdekaan kita ini salah satu haris perjuangan pahlawan bahkan sampai mereka rela mati,
jadilah pahlawan baru untuk negeri ini, INDONESIA!